SIKAP DAN PARADIGMA

. Sikap dan Paradigma
Seperti hal lain dalam kehidupan, sikap pun ada positif-negatipnya. Sikap positip bisa menambah nilai kebahagiaan kita. Konon ada dua orang guru SD, bergaji sama. Ketika ditanya apa pekerjaan bapak, yang pertama menjawab dengan keluh kesah: Yaah, cuman guru SD dengan gaji yang tidak cukup. Yang kedua menjawab dengan bangga: Saya bertugas menyiapkan calon-calon pemimpin republik ini, Pak.
Nah, karena sikap mereka berbeda, maka suasana hati mereka jauh berbeda. Untuk bisa bersikap positip, kita harus menggunakan paradigma positip, pula.
Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap suatu masalah. Satu hari P.Uztad dapat SMS dari Medan. Pak, mohon nasehat. Saya dikhianati oleh sahabat saya. Sakit hati ini. Bagaimana jalan keluarnya. Waduh. Apa yang bisa dilakukan? Konsultasi masalah berat hanya dalam waktu semenit dan media se-SMS. Ibarat disuruh membangun Borobudur dalam waktu semalam. Untuk tidak mengecewakan klien, P.Uztad menjawab: Ubahlah Paradigmamu. Itu Alloh yang menguji kamu lewat sahabatmu. Kalau kamu lulus ujian itu, Alloh sudah menyediakan bonus yang lebih baik untukmu. Selamat beribadah. Alhamdulillah. Dia menjawab: Trimakasih Pak, hati saya terbuka. Hampir saja saya membenci sahabat saya. AJKK.
Yang kedua ini seorang mantan preman datang dengan membawa kemarahan dan sakit hati terhadap “boss”nya yang telah mempermalukan di depan umum. Dia akan membuat perhitungan dengan kekerasan. P.Uztad bercerita tentang Iblis dan Adam. Iblis membangkang karena melihat siapa yang di…(orang yang disuruh untuk disujudi), bukan melihat yang me…(Alloh yang menyuruh sujud). Siapa yang membuka mulut boss anda? Alloh, jawabnya mantab. Nah, kalau begitu lihatlah DIA, Alloh yang mengetes Anda lewat mulut boss Anda tadi. Panjenengan ridho nggak diuji Alloh? Ridho!, jawabnya mantab, lagi.
Alhamdulillah. Beliau bisa menerima cobaan itu dan saling berangkulan meminta maaf.
Contoh ketiga, ada seorang minta tolong pinjam uang dalam jumlah cukup banyak untuk menebus sertifikat rumah di bank, kalau tidak, rumah akan disita dan dia akan tinggal di bawah kolong jembatan, katanya. Dia berjanji setelah sertifikat diambil, dalam tiga minggu rumah dijual, sebagian untuk membayar pinjaman sisanya dibelikan rumah yang lebih kecil dan lebih jelek. Ternyata sampai tahun ke tiga belum juga mengembalikan. Wajar saja dia ngedumel ketika menagih piutangnya.
Secara kebetulan, dalam pengajian, dia mendengar Nabi bersabda wallohu fii aunil abdi maa kanal abdu fi aunil akhihi. Alloh senantiasa menolong hambaNya selama hamba itu menolong saudaranya. Suatu malam, dia introspeksi. “Waktu kamu kasih pinjam dia, apa sih niyatmu?” tanyanya pada diri sendiri. “Nolong”. Oke, supaya apa? Yaa supaya saya ditolong Alloh seperti janji nabi. Nah, selama kamu minjami dia, rejekimu tambah lancar atau tambah seret? Tambah lancar! Pertambahan rejeki selama tiga tahun dengan uang yang kamu pinjamkan banyak mana? Ya, banyak tambahannya!. Apa bukan itu pertolongan Alloh? Ya. Apa bukan itu yang kamu harapkan? Ya, juga. Terus? Ya deh, agak lama mengembalikan juga kagak apa.
Nah, demikianlah paradigma positif bisa memperkecil ketidak bahagiaan kita, kalau tidak mengubahnya menjadi satu kebahagiaan.

0 komentar:

Posting Komentar