BEKERJASAMA DAN BERHASIL


team work Hiddink Way

Beberapa saat setelah Korsel memastikan lolos ke babak kedua Piala
Dunia 2002, Samsung Electronics — satu dari sekian raksasa bisnis
Korsel — mengadakan penelitian terhadap kepemimpinan dan manajemen
Guus Hiddink. Kesimpulannya, Hiddink tidak sekadar mengajarkan
bermain sepak bola, tetapi merombak etika Konfusian yang mengungkung
pemain.

Dalam wawancara dengan Joon Ang Ilbo, satu dari tiga koran berbahasa
Inggris di Korsel, Hiddink mengatakan orang Korea memiliki semua
persyaratan fisik sebagai pemain sepak bola profesional. Namun,
katanya, mereka tidak memiliki kemampuan berkreasi dan memiliki visi
bermain yang jelas.

“Di tingkat Asia, Korsel adalah top-dog. Tapi di level internasional,
Korsel tidak memiliki apa-apa,” kata Hiddink. “Saya harus mengubah
semua itu. Mengeluarkan Korsel dari lingkup Asia dan naik kelas ke
tingkat dunia.”

Namun, Hiddink menemui kesulitan ketika harus mengaplikasikan teori
sepak bola Barat yang dimilikinya. Ia mengetahui persoalan utamanya
terletak pada budaya dan etika Konfusianisme — terutama soal aturan
senioritas — yang menghambat komunikasi antarpemain. “Ketika saya
datang ke ruang makan pemain, saya melihat ada tiga meja makan,” kata
Hiddink. “Setiap meja diperuntukkan bagi kelompok pemain menurut
urutan senioritas. Uniknya, selama makan tidak ada komunikasi
antarsatu dan lain kelompok.” Saat itu juga Hiddink mengetahui
persoalan sebenarnya sepak bola Korsel. Ia meminta pengurus Federasi
Sepak Bola Korea untuk mengubah meja makan pemain. Hiddink tidak
menginginkan ada pengelompokan pemain sesuai usia dan lamanya bermain
di tim nasional, dan menginginkan semuanya berbaur.

Sebagai gantinya, Hiddink menginginkan satu meja makan panjang untuk
semua pemain. Tidak ada kursi senioritas, atau bagian-bagian tertentu
untuk mereka yang dianggap lebih berpengalaman. Pemain junior dan
senior saling berhadapan pada saat makan pada jarak sangat dekat.
Namun, itu pun tidak menyelesaikan masalah. Sampai sekian hari
setelah ganti meja, tidak ada komunikasi antara pemain junior dan
senior. Pemain junior lebih suka bercengkerama dengan sesamanya.
Begitu pula
dengan pemain senior.

“Saya mencari cara lain,” kata Hiddink. “Saya panggil para pemain
senior, dan saya minta mereka memberikan laporan tertulis mengenai
apa yang mereka bicarakan dengan pemain junior. Hong Myung-bo,
misalnya,saya beri tugas mencatat keinginan juniornya.”

Hiddink berhasil. Sejak saat itu pemain senior tidak lagi manusia
setengah dewa yang sulit dikritik. Mereka mendatangi pemain junior
dan mengajaknya berkomunikasi, di dalam atau di luar tempat latihan.
Hiddink telah membangun komunikasi. Inilah yang mengubah penampilan
Korsel di lapangan.

“Tidak ada lagi saling diam ketika terjadi kesalahan,” kata Hiddink.
“Pemain senior bukan lagi manusia kebal kritik, tetapi masing-masing
memiliki status yang sama.”

Korean Herald menulis Hiddink pula yang memperkenalkan sistem
persaingan di antara pemain. Sistem mensyarakatkan pemain memenuhi
target masing-masing, khususnya dalam kondisi fisik. Jika gagal
risikonya adalah dicoret dari daftar pemain.

Sistem kompetisi berlaku untuk semua. Hiddink tidak peduli dengan
reputasi Hong Myung-bo yang dikagumi banyak pemain, atau Cha Do-ri
yang putra legendaris Korea, Cha Bum-keun.

Sistem ini membawa korban banyak pemain senior. Sejumlah nama
terpaksa dicoret Hiddink dari daftar. Reaksi publik Korsel sungguh
luar bisa. Koran-koran berbahasa Korea mengkritik habis cara Hiddink
melatih. Ia dianggap memperkenalkan cara lama Belanda dalam berlatih
sepak bola.

Terlebih, sampai sekian bulan setelah kedatangannya ia tidak
melakukan pembaruan teknik dan mengajarkan Ahn Jung-hwan dan kawan-
kawannya bagaimana memainkan strategi baru. Hiddink dianggap terlalu
mementingkan kekuatan fisik, padahal ia tahu selama ini Korsel
dikritik media asing sebagai running soccer robots.

Hiddink tidak peduli dengan semua kritik itu. Ia mengatakan, “Setelah
semua masalah fisik terselesaikan, pemain akan bisa menguasai semua
teknik bermain manapun.” Ia melanjutkan, “Yang terpenting bagi sebuah
tim adalah bagaimana membangun teamwork. Ini perlu komunikasi yang
lancar antarpemain. ”

Hiddink Way, begitu orang Korea menyebutnya, berjalan sesuai rencana.
Namun, sampai beberapa bulan sebelum piala dunia, Korsel hanya
beberapa kali tampil mengesankan di depan publiknya. Saat menghadapi
Prancis, misalnya, publik Korsel mulai bisa melihat kemampuan pemain
Korsel mencetak gol ke gawang tim Eropa. Sesuatu yang tidak pernah
terjadi sebelumnya.

Tanpa diketahui banyak media massa, Hiddink saat itu telah memberikan
sentuhan think and play kepada pemain-pemainnya. Ia mengajarkan
bagaimana mengambil keputusan di saat tertekan, dan mengatasi tekanan
lawan. Ia mengubah Korsel menjadi sebuah tim yang bukan lagi
berkarakter Asia, tapi fotokopi tim-tim Eropa.

Ia mengajarkan kepada semua pemain bagaimana memainkan perubahan
karakter bermain di lapangan, saat menyerang atau ketika diserang.
Inilah yang terlihat di semua pertandingan Korsel.

Sampai usai pertandingan Korsel-Portugal, tidak ada lagi keraguan
akan Hiddink Way. Yang terjadi adalah berjangkitnya Hiddink Syndrome
di semua lapisan masyarakat Korea. Samsung bukan satu-satunya
perusahaan yang merasa perlu mengadopsi pendekatan Hiddink, tapi
sejumlah manajer perusahaan multinasional Korea mulai mengubah
pendekatan Konfusianisme yang telah mengakar begitu kuat.

0 komentar:

Posting Komentar